Sejarah pemuda adalah sejarah pembaharuan, ini bisa dilihat dari periodisasi gerakan kepemudaan mulai dari 1908 – 1998. Setiap angkatan memiliki produk isu masing-masing sebagai fokus orientasi gerakan dimasanya. Dimasa ini, pemuda benar-benar menjadi inovator bagi perubahan zaman.
Pasca 1998, gerakan pemuda mengalami kebuntuan dalam memfokuskan orientasi gerakannya (kehilangan lokus gerakan). Pemuda kehilangan kepekaan dalam mengidentifikasi apa yang menjadi kebutuhan zaman. Pemuda dan gerakan mahasiswa kehilangan kepekaan untuk mengidentifikasi peluang dalam melakukan pembaharuan gerakan. Hal ini mengakibatkan terjadinya kegagalan dalam mengantisipasi apa yang menjadi kebutuhan mendasar di dunia akademis kemahasiswaan dan partisipasinya dalam mengawal proses penyelenggaraan negara (kebangsaan). Hal tersebut menyebabkan pemuda dan gerakan mahasiswa tidak mampu menemukan peluang baru untuk bisa dikemas menjadi sebuah “produk” yang bisa “dinikmati” kalangan akademisi kemahasiswaan maupun masyarakat umum sebagai elemen penting dalam proses kebangsaan.
Ketidakmampuan dalam mengidenfitikasi peluang (Oppotunities) merupakan penyebab hilangnya kolaborasi dalam gerakan pemuda dan mahasiswa. Angkatan ’45 berhasil menghimpun seluruh elemen kekuatan pemuda dengan satu rumusan kemerdekaan, angkatan ’66 dengan sebuah rumusan anti komunisme, dan angkatan ’98 dengan rumusan gerakan reformasinya. Semua itu dimungkinkan karena adanya sebuah portfolio (peta jalan) gerakan yang matang, terencana, dan sistematis serta up to date dengan kondisi zaman saat itu. Mustahil adanya kolaborasi dan portfolio gerakan yang tanpa didahului oleh identifikasi dan mapping isu/peluang yang matang.
Kehilangan kemampuan untuk mengidentifikasi peluang serta ketidakmampuan dalam menyusun portfolio gerakan menyebabkan lemahnya desain dan pengembangan gerakan yang sistematis, terstruktur dan massif. Akhirnya gerakan pemuda dan mahasiswa terjebak dalam sebuah “labirin” yang tak berkesudahan, tak jelas mana pangkal dan ujungnya. Banyak waktu dan “cost” gerakan yang terbuang. Energi dan sumber daya terkuras untuk mencari jalan keluar dari “labirin”, sementara disaat yang bersamaan zaman terus bergerak pesat dalam hitungan detik, menit, jam, dan seterusnya. Variabel-variabel tersebut selanjutnya mengantarkan gerakan pemuda dan mahasiswa pada sebuah pencapaian tujuan yang kita sendiri bingung untuk menamainya, tujuan yang tidak direncanakan sejak awal.
Lemahnya sumber daya (Human Capital) Pemuda (Aktivis Gerakan)
Sejarah gerakan pemuda adalah sejarah gerakan Organisasi kepemudaan itu sendiri. Tak mungkin kita membicarakan gerakan pemuda tanpa mengaitkannya dengan organisasi kepemudaan. Sebagai salah satu kekuatan kontrol proses penyelenggaaraan negara, tak dipungkiri besarnya sumbangsih peran organisasi kepemudaan dalam proses penyelenggaraan negara di republik ini. Hal tersebut tentu saja tidak bisa lepas dari kapasitas sumber daya manusia yang berhimpun di dalam organisasi mahasiswa dan pemuda sebagai motor penggerak progresifitas organisasi itu sendiri. Lahirnya ide segar dan gagasan besar sebuah organisasi tentu saja berasal dari dinamisnya pemikiran anggota yang ada didalamnya.
Berbicara sumber daya (Human capital) pemuda dan mahasiswa, berarti kita berbicara soal ketrampilan multidisiplin (multidisciplinary Skills) pemuda itu sendiri, kita berbicara soal kapasitas akademis. Mustahil lahir gagasan dan pemikiran besar tanpa adanya kapasitas akademis yang mumpuni. Artinya, mustahil sebuah organisasi kepemudaan bisa menghasilkan gagasan besar jika tidak ditopang oleh kapasitas akademis (multidisciplinary Skills) para anggota yang bernaung didalamnya. Kemana Natsir, kemana Syahrir, kemana Hatta, kemana Soekarno, kemana Nurcholish Madjid ? Apakah “lesunya” gerakan organisasi pemuda dan mahasiswa saat ini adalah karena diisi oleh anggota mereka yang lemah secara kapasitas akademis ? sehingga jangankan membawa pembaharuan gerakan ke eksternal (masyarakat) jika untuk bersaing di dalam lingkungan akademis saja tak sanggup. Sebuah pertanyaan yang butuh pemikiran bersama.
Basis gerakan pemuda dan mahasiswa berada pada posisi yang lemah terutama di kampus-kampus yang menjadi mainstream dunia akademis di republik ini. Ini menjadi sangat paradoks dengan “embel-embel” “pemuda” dan “mahasiswa” yang intelektual, akademis dan kritis yang menjadi sumber daya dan motor penggerak organisasi kepemudaan.
Diabaikannya Information Capital dalam gerakan pemuda
Evolusi informasi, itulah sebuah realitas baru yang menjadi konsekuensi dari akselerasi perkembangan zaman. Di zaman ini lahirlah apa yang kita sebut sebagai internet dan “kampung global”. Tak mungkin kita bisa merespon perkembangan zaman yang begitu pesat dengan menggunakan pola pikir yang tetap sama. Evolusi informasi harus dibarengi dengan evolusi mindset. Sangat berbahaya jika kita mengabaikan kedua-duanya (evolusi informasi dan evolusi mindset) dengan tetap bertahan pada sebuah pola pikir baku.
Intelektualitas, kata yang identik dengan kaum muda yang mempunyai pemikiran kritis dan transformatif. Namun tidak disadari atau sengaja dilupakan bahwa kata intelektualitas dengan mengalami penyempitan makna. Inteltualitas hari ini lebih dipahami sebagai sebuah kecerdasan yang informatif belaka tanpa kita menyadarinya. Kita lupa bahwa di era saat ini telah terjadi apa yang disebut sebagai “hujan berlian”. Di dunia yang berhujan berlian, batu-batu mulia ini menjadi benda yang bisa dijumpai bahkan dihalaman rumah sekalipun, dan karenanya menjadi tidak berharga. Berlian-berlian itu masih dapat digunakan untuk perhiasan sebab tetap mempunyai nilai estetika yang sama. Namun nilai dagangnya terhapus punah. Seperti itulah ”intelektualitas informatif”, tetap menyenangkan untuk didengar namun tak memiliki nilai apa-apa lagi. Masing-masing orang bisa mendapatkan pengetahuan apapun, dimanapun, dan kapanpun lewat dunia internet. Hari ini kita membutuhkan seseorang yang intelektualitas yang meiliki kecakapan sosial, kecakapan dalam mengendalikan informasi dan kreativitas.
Format gerakan pemuda dan mahasiswa tidak ditopang oleh information capital yang mumpuni. Gerakan pemuda dan mahasiswa lupa “mengeksplorasi teknologi” untuk menopang pencapaian mission organisasi gerakan masing-masing. Entah lupa atau memang tidak memiliki kecakapan dalam melakukan hal itu. Tidak mungkin akan tercipta sebuah kolaborasi gerakan yang rapi jika tidak didahului oleh adanya integrasi dan kesepahaman tujuan dalam gerakan. Teknologi informasi yang pesat juga harus dimanfaatkan untuk mengintegrasikan berbagai potensi sebagai sumber daya dalam mencapai mission dan tujuan organisasi pemuda dan masiswa.
Ada sebuah istilah yang dikenal dengan ”speed to market”. Inilah potensi yang tak terbendung dari pemanfataan information capital dalam sebuah organisasi. Tak ada jarak, sepersekian detik saja kita bisa melakukan konsolidasi, dalam satu kedipan mata saja kita bisa mengintegrasikan potensi yang dimiliki. Namun sekali lagi bahwa pemanfaatan information capital selalu bersesuaian dengan kapasitas akademis yang dimiliki dalam sebuah organisasi.
Organization Capital yang tidak edukatif lagi
Inilah penyebab kenapa gerakan pemuda dan mahasiswa mengalami kelesuan dalam melakukan pembaharuan gerakannya. Tidak mungkin akan lahir sebuah gagasan yang kreatif dan inovatif dari sebuah kultur organisasi yang tidak edukatif dan cenderung berada “dibawah” pengaruh dunia politik yang praktis. Peradaban mencatat bahwa insan akademis cenderung berada pada posisi yang berlawanan dengan hegemoni kekuasaan politik yang tiran. Pertanggung jawaban moral dan ideologi gerakan ditinggalkan. Gerakan pemuda dan mahasiswa menjadi “alas kaki” kekuasaan, bersembunyi “diketiak” kepentingan para senior pendahulu. Rekruitmen pengurus dan anggota lebih mengutamakan pertimbangan politik (akomodasi politik) ketimbang kapasitas akademis yang dimiliki. Nilai dan ideologi serta mission gerakan disimpan rapi dan tidak lagi dipandang dan dijadikan sebagai perilaku dan landasan gerak dalam bersikap.
Teamwork yang harusnya dilandasi oleh semangat bersama untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan semua justru direduksi kedalam faksi-faksi kecil yang dilandasi semangat kepentingan kelompok tententu. Padahal teamwork yang baik merupakancritical factor yang menentukan langkah awal dalam melakukan sebuah pembaharuan gerakan. Semua pengetahuan dan kecapakan akademis diintegrasikan, dikolaborasikan dalam sebuah teamwork yang handal guna melahirkan sebuah gagasan besar yang up to date untuk selanjutnya “diperkenalkan” ke dunia luar (Scientific conference, leading university, etc) . Mustahil hal tersebut bisa dicapai jikateamwork dibentuk atas dasar semangat kepentingan tertentu yang sarat motif dan modus.
Culture. Kultur organisasi gerakan pemuda dan mahasiswa harus diterus didorong untuk melakukan inovasi dan perubahan yang berlandaskan pada cita-cita dan semanagat sebagaimana yang terdapat pada mission oraganisasi masing-masing, terbuka dan objektif atas kemajuan dan perkembangan zaman yang berbasis padaknowledge, baik dalam dunia sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya, tujuannya agar gerakan pemuda dan mahasiswa menjadi lebih kompetitif dan sesuai dengan semangat perkembangan zaman. Jauhkan tendensi yang tidak edukatif dan kontraproduktif dengan core values yang menjadi semangat pergerakannya.
Hidup mahasiswa, Jayalah pemuda, bangkitlah Organisasi Pemuda dan Mahasiswa !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar